Jakarta,-media krimsus news Investigasi terbaru membuka mata dengan gamblang: sekelompok elit politik dikenal sebagai “Geng Solo” tampaknya memainkan permainan berbahaya: mendestabilisasi pemerintahan, menancapkan loyalis di titik vital, bahkan menyulut kerusuhan demi menggusur Presiden Prabowo. Jika dugaan ini benar, bukan hanya demokrasi yang dipertaruhkan tapi masa depan bangsa dalam genggaman dinasti politik yang rapuh moral.
Berpura-pura netral, “Geng Solo” justru melakukan serangan sistematis operasi senyap yang meresahkan. MoneyTalk, 21 Agustus 2025, menyuguhkan skema licik ini dalam tiga tahap terstruktur: infiltrasi loyalis di titik strategis pemerintahan, destabilisasi citra presiden melalui narasi publik, lalu manuver politik seperti interpelasi dan wacana pemakzulan sebagai klimaks sakit demokrasi .
Tahap pertama, atau “Begal Konstitusi”, terjadi ketika interpretasi konstitusi disulap demi legitimasi pencalonan Gibran tokoh dinasti yang tak lagi sekadar anak presiden, tapi calon serius penguasa sah secara prosedural. Ini bukan demokrasi, ini politikal engineering canggih dengan kedok legalitas samar.
Tahap kedua menyasar “Menteri Titipan”: figur-figur yang identitasnya lebih mendekat pada loyalis Jokowi ketimbang Prabowo. Analyst M. Jamiluddin Ritonga dipetik oleh Law-Justice.co pada 27 Agustus 2025, menyarankan reshuffle kabinet karena bahaya loyalitas dobel ini bisa mengikis stabilitas pemerintahan . Fakta ini meresahkan ini bukan sekadar politik oportunis, ini kudeta senyap dari lingkar dalam.
Tahap ketiga, “Kerusuhan 2025”, adalah taktik degenerasi demokrasi yang hampir terlalu licik untuk disebut nyata. Bayangkan: kekacauan sosial ditumbuhkan, dibiarkan tumbuh, lalu diagung-agungkan sebagai pembenaran menggoyang posisi Presiden. Semua dirancang demi memunculkan delegitimasi jalan licin menuju manipulasi wacana resmi.
Inti dari semua ini adalah: transisi kekuasaan yang disebut ambisi dinasti. Prabowo, ingin membangun legitimasinya sendiri, justru terkepung oleh struktur lama yang tak mau mundur. Sedang Gibran, proyek dinasti yang disiapkan atas lembut oleh mekanisme politik ambigu bukan melalui pemilih, tapi melalui “skenario TSM” (terstruktur, sistematis, masif) .
Harapan, dan Tantangan!
Mari bersikap sinis: jika media mainstream membisu atau membahas ini sebagai “isu biasa”, kita tahu ada sesuatu yang sengaja ditutupi. Jika aparat keamanannya diam, bisa jadi dia memang diinstruksikan untuk pura-pura tak melihat.
Akar masalahnya bukan sekadar individu, melainkan kelembagaan: keamanan, birokrasi, media. Semua dirasuki oleh “geng” lama mantan aparatur Surakarta era Jokowi, alias Solo Gang yang memasuki jalur kekuasaan tinggi pasca-2024. Wikipedia mencatat ini sebagai jaringan militer-polisi yang dikonsolidasikan Jokowi di masa lalu, kini masih bergelayut di sekitar pusat kekuasaan .
Ketika realitas berlapis-lapis seperti ini mematahkan idealisme demokrasi kita, sinisme bukan pilihan itu kewajiban moral. Kita tak boleh percaya begitu saja pada retorika “stabilitas” yang dibungkus kabut resmi. Kita perlu kritik tajam, bukan retorika hambar bahwa semuanya “normal”.
Jika benar terjadi, skenario ini merusak institusi dan nilai dasar: demokrasi, meritokrasi, negara hukum. Bahkan, aristokrasi dinasti bukan ide baru tapi di republik ini, itu pengkhianatan sosial-politik yang paling kejam. Kita bukan menonton sinetron politik; ini adalah panggung bahaya riil untuk kebebasan.
Maka, kritik cerdas, tajam, dan sinis terhadap narasi yang menenangkan publik bahwa “semua baik-baik saja” adalah kewajiban. Kita harus membuka mata: skenario ini bukan skenario fiksi, melainkan musuh dalam selimut demokrasi. Jangan biarkan “suara adzan” demokrasi kita sepi karena jika dibiarkan lengang, yang tersisa bukan kebangkitan, tetapi runtuhnya legitimasi dan masa depan bangsa. ( Antoni )
Social Header